Review Film The Godfather Part II

review-film-the-godfather-part-ii

Review Film The Godfather Part II. Tahun 1974, dua tahun setelah film pertamanya mengguncang dunia, Francis Ford Coppola malah berani bikin sesuatu yang lebih gila: sekuel yang lebih panjang (202 menit), lebih gelap, dan punya dua timeline sekaligus. Banyak yang bilang mustahil ngalahin aslinya, tapi The Godfather Part II justru berhasil jadi satu-satunya sekuel dalam sejarah yang dianggap setara, bahkan oleh sebagian orang lebih baik, daripada film pertama. Sampai sekarang masih jadi jawaban standar kalau ditanya “contoh sekuel yang lebih bagus dari original”. BERITA BOLA

Al Pacino di Puncak Performa dan De Niro yang Mencuri Perhatian: Review Film The Godfather Part II

Al Pacino sebagai Michael Corleone versi “sudah jadi monster” tampil luar biasa dingin. Matanya yang kosong di adegan akhir, saat duduk sendirian, mungkin jadi salah satu ekspresi paling menghantui dalam sejarah film. Transisinya dari “saya akan melindungi keluarga” jadi “saya akan hancurkan siapa saja termasuk keluarga” terasa begitu alami sekaligus mengerikan. Sementara itu, Robert De Niro muda memerankan Vito Corleone versi muda dengan sempurna, bahkan belajar bahasa Sisilia asli dan gerakan tangan yang persis seperti Brando. Adegan De Niro bunuh Fanucci di atap sambil festival berlangsung adalah masterclass akting diam.

Struktur Dua Zaman yang Berani dan Berhasil Total: Review Film The Godfather Part II

Coppola memilih struktur paralel: masa lalu Vito bangun kekuasaan di New York tahun 1910–1920-an, dan masa sekarang Michael mempertahankan (dan menghancurkan) kekuasaan di tahun 1950-an. Banyak sutradara takut struktur ini bakal membingungkan, tapi malah jadi kekuatan terbesar. Setiap kali kita lihat Vito muda membangun keluarga dengan cinta, langsung dipotong Michael yang menghancurkan keluarganya sendiri. Kontrasnya pedih banget. Adegan Michael bilang “I know it was you, Fredo” dan pelukan kematian itu masih bikin orang terdiam sampai sekarang.

Visual Gelap dan Musik yang Makin Sendu

Gordon Willis kembali dengan sinematografi “godfather of darkness”-nya: bayangan tebal, warna cokelat-emas, dan ruangan yang terasa sesak meski besar. Nino Rota juga balik dengan tema yang sama, tapi lebih lambat, lebih sedih, seperti orang yang tahu ceritanya tidak akan berakhir bahagia. Adegan di Kuba saat revolusi, pesta mewah Michael, dan ending Michael sendirian di danau musim dingin adalah gambar-gambar yang langsung terpatri di otak.

Kesimpulan

The Godfather Part II bukan sekuel biasa; ia adalah perluasan, pendalaman, sekaligus penutup tragis dari kisah keluarga Corleone. Coppola berhasil bikin film yang lebih ambisius, lebih dalam, dan lebih menyakitkan daripada yang pertama tanpa terasa memaksa. Kalau film pertama tentang naiknya kekuasaan, yang kedua tentang harganya. Banyak yang bilang ini puncak karir Pacino, puncak karir Coppola, bahkan puncak perfilman Amerika. Kalau kamu cuma boleh nonton satu sekuel seumur hidup, pilih yang ini. Endingnya akan menghantui kamu berhari-hari, dan kamu akan tetap bilang terima kasih. Masterpiece sejati. 10/10, tanpa kompromi.

BACA SELENGKAPNYA DI…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *