Review Film In Bruges. Oktober 2025, tepat 17 tahun setelah rilisnya, film In Bruges karya Martin McDonagh kembali jadi obrolan panas berkat wawancara Colin Farrell di CBR awal Juni, di mana ia ungkap sisi depressing syuting di kota indah Belgia itu—lengkap dengan hubungan ke peran terbarunya di The Penguin. Dengan screening spesial di Bristol Film Festival Maret lalu dan rumor sequel yang sempat heboh, film ini bukti komedi hitam bisa abadi. Dibintangi Farrell sebagai Ray yang sarkastik, Brendan Gleeson sebagai Ken yang filosofis, plus Ralph Fiennes sebagai bos gila Harry, In Bruges bukan sekadar thriller—ia cerita pelarian dua pembunuh bayaran di Bruges yang penuh kanal dan gereja, campur tawa getir dengan pukulan emosional. Di era di mana dark comedy lagi marak ala The Bear, In Bruges tetep relevan: dari meme “cursed tourist” di X sampe diskusi Reddit soal “best McDonagh film”. Artikel ini review ulang klasik 2008 ini, dari plot sampe plus-minusnya, biar Anda paham kenapa nonton ulang di 2025 masih bikin campur aduk. BERITA TERKINI
Ringkasan dari Film Ini: Review Film In Bruges
In Bruges, rilis 2008 dengan runtime 107 menit, ceritanya pusat di Ray dan Ken, duo hitman Irlandia yang kabur ke Bruges, Belgia, setelah misi gagal yang bikin Ray trauma—bunuh anak kecil secara tak sengaja. Bos mereka, Harry, suruh mereka santai di kota abad pertengahan yang indah itu, tapi Ray benci segalanya: turis, kanal, dan patung-patung “pedofil”. Ken malah jatuh cinta sama kota, baca buku filsafat, dan coba selamatkan Ray dari depresi.
Film bagi tiga act ala pelarian: hari-hari awal penuh dialog sarkastik Ray-Ken, pertemuan dengan aktor dwarf Chloë (Clémence Poésy) dan geng dwarf film, sampe klimaks saat Harry datang tuntut jawaban atas kegagalan. Twist gelap ungkap rahasia Harry soal Bruges, campur aksi tembak-menembak dengan monolog soal neraka dan penebusan. Narasi non-linier via voiceover Ray bikin tegang, score Carter Burwell yang haunting dukung visual dingin Bruges yang kontras humor. Dengan budget £8,5 juta dan box office £25 juta, film ini loncat dari bromance hitman ke meditasi dosa, ending bittersweet yang bikin mikir ulang soal “istirahat”.
Kenapa Film Ini Sangat Untuk Ditonton: Review Film In Bruges
In Bruges wajib ditonton ulang di 2025 karena McDonagh’s script yang tajam kayak pisau—dialognya penuh one-liner sarkastik seperti “Bruges is a shithole” yang tetep quotable, mirip wawancara Farrell yang sebut syuting depressing tapi cathartic. Chemistry Farrell-Gleeson jadi jantung: Farrell’s Golden Globe-winning Ray campur marah dan rapuh, Gleeson’s Ken bawa kehangatan ayah, sementara Fiennes’s Harry curi scene dengan ledakan amarah. Di tengah rumor sequel, film ini cocok buat fans yang haus dark comedy tanpa gore berlebih—cerita pelarian hitman yang refleksikan rasa bersalah, relatable di era burnout dan “toxic masculinity” yang lagi dibahas.
Pacing-nya pas: act pertama bangun bromance pelan, lalu ledak chaos di akhir yang bikin susah napas. Cocok buat pemula McDonagh—lebih ringan dari Three Billboards tapi sama gila—atau veteran yang pengen nostalgia 2008 vibe. Streaming di Netflix atau Prime bikin akses mudah, ideal buat pub night atau solo reflect malam hujan. Singkatnya, ini film multifungsi yang bikin ketawa sambil mikir, pas buat Oktober yang lagi sepi dan pengen cerita pintar tapi nggak berat.
Sisi Positif dan Negatif dari Film Ini
Sisi positif In Bruges kuat: script McDonagh yang debut fitur bikin dialog ikonik—scene pub Ray-Ken soal rasial dan agama jadi gold, sementara tema penebusan via Bruges simbolis tanpa preach. Ensemble cast-nya seimbang: Poésy tambah romansa ringan, Jordan Prentice sebagai dwarf bawa humor absurd tanpa karikatur, dan Fiennes’s rage ikonik. Di 2025, relevansinya naik dengan Farrell’s interview soal mental health syuting, plus score Burwell yang moody seimbang emosi berat. Dampak budaya? Buka pintu buat Irish dark comedy, inspirasi Banshees of Inisherin, rating Rotten Tomatoes 84% yang solid karena “witty yet poignant”.
Tapi, negatifnya ada: pacing mid-film terlalu dialog-heavy, bikin scene pub molor sampe terasa drag buat penonton action junkie. Beberapa joke rasial dan dwarf trope terasa dated, potensial offensive di era sensitivitas 2025—Farrell sendiri sebut “problematic” di wawancara. Ending twist terlalu sudden, bikin kurang closure buat yang pengen happy end; Guardian review 2008 sebut “bittersweet but abrupt”. Di konteks sekarang, tema kekerasan dan bunuh diri implisit bisa trigger, terutama buat pembaca sensitif. Intinya, plusnya dari wit tajam, minusnya dari edge humor—McDonagh ambil risiko dark, tapi kadang jatuh ke kontroversi.
Kesimpulan
In Bruges di 2025 tetep Bruges paling indah komedi hitam, dengan ringkasan pelarian Ray-Ken dari trauma ke penebusan, alasan ditonton lewat dialog sarkastik dan chemistry emas, plus keseimbangan positif witty dan negatif dated joke yang bikin debat hidup. Dari 2008 jadi timeless soal dosa dan istirahat, film ini bukti McDonagh genius, meski depressing seperti kata Farrell. Buat yang belum, stream sekarang—siapa tahu sequel rumor bawa Harry balik. Di akhir, In Bruges ingatkan: kota cantik bisa neraka, tapi tawa sahabat bikin selamat. Selamat nonton, dan jangan lupa pesen bir—Bruges menunggu.