Review Film La La Land

review-film-la-la-land

Review Film La La Land. Pada 17 Oktober 2025, euforia penggemar La La Land kembali memuncak saat pengumuman Krakow Film Music Festival pada Maret lalu membawa konser live “La La Land in Concert” ke edisi ke-18 festival tersebut, dijadwalkan pada 26 Mei hingga 1 Juni mendatang, dengan orkestra penuh memainkan soundtrack ikonik karya Justin Hurwitz. Acara ini, yang juga fitur komposer Hurwitz secara langsung, menandai ulang tahun ke-9 film musikal Damien Chazelle yang tetap jadi referensi utama genre romansa dewasa. Rilis 2016 ini, dengan durasi dua jam delapan menit, ceritakan kisah Mia (Emma Stone) dan Sebastian (Ryan Gosling), dua pemimpi di Los Angeles yang jatuh cinta tapi harus pilih antara hati dan karir. Di tengah tren musikal modern yang sering terasa ringan, La La Land soroti konflik nyata: mimpi versus realitas, dengan akhir bittersweet yang bikin penonton renung. Review ini kupas tiga aspek kunci yang bikin film ini abadi, dari narasinya yang manis getir hingga dampak budayanya, terutama saat soundtracknya kini hidup lagi di panggung Krakow. BERITA TERKINI

Narasi dan Tema: Cinta yang Menari di Tengah Kompromi: Review Film La La Land

Narasi La La Land adalah perpaduan halus antara musikal klasik ala Fred Astaire dan drama kontemporer, di mana Mia, aktris pemula, dan Sebastian, pianis jazz keras kepala, bertemu di bukit Hollywood, jatuh cinta, tapi pelan-pelan sadar mimpi mereka tarik arah beda. Chazelle susun plot seperti tarian: babak awal penuh warna cerah dengan nomor “Another Day of Sun” yang buka film, lalu transisi ke konflik saat karir Sebastian ambil alih, klimaks di pesta akhir tahun yang sorot apa yang bisa terjadi kalau mereka pilih cinta. Durasi terasa pas, dengan pacing yang naik-turun seperti lagu jazz, hindari kebosanan meski banyak sequence musikal.

Tema utamanya kompromi: LA sebagai kota mimpi yang makan jiwa, di mana “City of Stars” wakili harapan rapuh. Chazelle, terinspirasi pengalaman pribadinya di Hollywood, gali bagaimana ambisi bunuh romansa—Sebastian tolak kompromi, Mia kejar spotlight—tapi akhir alternatif lima menit tunjukkan versi utopia yang tak pernah ada. Di konser Krakow 2025, nomor-nomor ini akan dimainkan live, bikin penonton rasakan emosi mentah tanpa visual, soroti kekuatan narasi yang mandiri. Kekurangannya? Beberapa subplot seperti teman Mia terasa kurang dalam, tapi justru itu bikin cerita fokus: bukan dongeng bahagia, tapi pengingat dewasa bahwa cinta butuh pengorbanan, bikin penonton keluar dengan hati campur aduk.

Performa Aktor dan Pengembangan Karakter: Chemistry yang Tak Terbantahkan: Review Film La La Land

Performa Emma Stone sebagai Mia adalah keajaiban: ia bawa kerentanan gadis biasa yang haus pengakuan, dari senyum gugup di audisi hingga tangis emosional di akhir, menang Oscar Best Actress 2017 yang pantas. Ryan Gosling sebagai Sebastian tambah kontras sempurna: dandy jazz yang idealis tapi keras kepala, dengan tatapan mata yang bilang lebih banyak daripada dialog, soroti konflik internalnya saat kompromi karir demi Mia. Chemistry mereka elektrik—tarian di bukit Griffith Observatory terasa spontan, seperti dua orang biasa jatuh cinta di depan kamera.

Pengembangan karakter halus: Mia evolusi dari pelayan kopi jadi bintang teater, Sebastian dari puritan jazz jadi musisi sukses tapi kehilangan jiwa. Chazelle puji Stone dan Gosling karena latihan tarian berbulan-bulan, bikin nomor “A Lovely Night” terasa playful tapi penuh ketegangan romansa. Pendukung seperti John Legend sebagai rekan Sebastian beri nada realistis soal komersialisasi musik. Di 2025, dengan Gosling sibuk proyek baru, performa ini terasa seperti puncak karir mereka—bukan akting berlebih, tapi autentik yang bikin penonton rooting untuk pasangan ini meski tahu akhirnya pilu. Kekurangannya? Karakter sampingan kurang waktu, tapi duo utama cukup kuat untuk angkat seluruh cerita, bikin La La Land terasa seperti kisah cinta pribadi.

Visual, Musik, dan Produksi: Musikal yang Berwarna dan Mengalir

Visual La La Land adalah pesta warna: Chazelle syuting di LA asli, pakai one-take panjang untuk nomor pembuka di jalan raya, dengan palet sunset orange dan biru malam yang bikin kota terasa magis. Koreografi Mandy Moore bikin tarian terasa effortless—dari waltz di planetarium hingga tango di pesta—menang Oscar Best Production Design yang soroti set mewah tapi sederhana. Di konser Krakow, musik live akan rekreasi ini, dengan orkestra 80 orang main ulang score Hurwitz yang campur jazz klasik dan modern.

Soundtrack, yang menang Oscar Best Original Score dan Song untuk “City of Stars”, jadi elemen narasi: lagu-lagu seperti “Audition (The Fools Who Dream)” ungkap mimpi Mia lewat vokal Stone yang mentah. Produksi ambisius: syuting 17 hari untuk nomor besar, pakai CGI minimal untuk jaga rasa organik. Di 2025, dengan teknologi streaming 4K, visual terasa lebih hidup, tapi kekurangannya tetap: beberapa transisi musikal terasa tiba-tiba. Meski begitu, produksi ini bukti Chazelle bisa bikin musikal segar tanpa klise, dorong penonton hargai LA sebagai latar yang bernyawa.

Kesimpulan

La La Land di 2025, lewat konser Krakow yang akan datang, tetap jadi musikal Chazelle yang sempurna: narasi kompromi yang manis getir, chemistry Stone-Gosling yang tak terbantahkan, dan visual berwarna yang mengalir seperti lagu jazz. Film ini tak sempurna—subplot ringan, transisi kadang mendadak—tapi kekuatannya di kemampuan bikin mimpi terasa nyata dan pilu. Bagi yang belum nonton, mulai di layar besar; bagi yang sudah, dengar live di festival. Pada akhirnya, seperti tarian Mia dan Sebastian yang tak pernah lengkap, La La Land ingatkan: cinta dan mimpi butuh langkah berani—sebuah lagu yang layak dinyanyikan ulang, di hati dan di panggung.

 

BACA SELENGKAPNYA DI…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *