Review Film The Lobster. Pada Oktober 2025, tepat satu dekade sejak “The Lobster” debut di Cannes Film Festival dan sapu Jury Prize, film karya Yorgos Lanthimos ini kembali jadi topik panas di kalangan pecinta sinema indie. Di tengah dominasi blockbuster seperti sekuel Marvel, rewatch “The Lobster” melonjak di Netflix, didorong thread Reddit anniversary yang viral pekan lalu, di mana penggemar bagikan meme absurd dari adegan transformasi hewan. Dengan Colin Farrell yang baru saja rilis “F1” dan Lanthimos sibuk promosi “Kinds of Kindness” sekuel, film 2015 ini terasa segar lagi—kritik tajam terhadap norma romansa modern yang kini lebih relevan di era dating app. Runtime 118 menit ini campur dystopian satire dengan humor gelap, angkat pertanyaan: apakah cinta harus dipaksa? Di usia 10 tahun, rating 88 persen di Rotten Tomatoes tak bergeming, bukti ia tetap jadi cult classic. Apa yang bikin film ini abadi? Kita review ulang, dari plot hingga warisannya yang aneh tapi brilian. BERITA TERKINI
Ringkasan dari Film Ini: Review Film The Lobster
“The Lobster” berlatar di masyarakat dystopian di mana orang dewasa single wajib temukan pasangan dalam 45 hari, atau diubah jadi hewan dan dilepas ke hutan. Cerita ikuti David (Colin Farrell), pria paruh baya yang baru putus, check-in ke hotel aneh di mana tamu ikut terapi “pasangan” pakai poin dari “aktivitas”—seperti masturbasi paksa atau tembak orang single liar. Ia pilih jadi lobster kalau gagal, simbol makhluk sederhana yang ia sukai sejak kecil.
Di hotel, David temui karakter eksentrik: Lea Seydoux sebagai nosy bisnismen, John C. Reilly sebagai lisping teman kamar, dan Olivia Colman sebagai manajer sadis yang paksa pasangan palsu. Saat poin habis, David kabur ke hutan bergabung pemberontak “Loners” yang anti-romansa, dipimpin Lea (Rachel Weisz) yang tak bicara—mereka jatuh cinta secara diam-diam, tantang aturan kedua kubu. Konflik klimaks saat David pilih sisi mana, lengkap twist tragis yang campur humor absurd dengan pathos mendalam. Ditulis Lanthimos dan Efthymis Filippou, film ini dialog kaku yang jadi ciri khas sutradara Yunani, eksplorasi paksaan sosial lewat lensa satire—bukan thriller murni, tapi alegori gelap tentang kesepian modern.
Alasan Film Ini Sangat Populer: Review Film The Lobster
“The Lobster” populer karena gaya Lanthimos yang unik: campur deadpan humor dengan elemen surreal, bikin penonton geleng-geleng sambil tertawa getir. Debut AS-nya di TIFF 2015 tarik buzz, capai US$15 juta worldwide dari budget US$4 juta, dan Palme d’Or contender di Cannes. Farrell’s transformasi—dari aktor Hollywood ke pria gendut berjanggut—curi perhatian, dapat nominasi Golden Globe, sementara Weisz dan Seydoux tambah glamor. Di 2025, anniversary ke-10 dorong festival seperti BFI London yang tayang ulang akhir September, tarik ribuan, plus podcast “The Q&A” Lanthimos yang bahas pengaruh film ini ke “The Favourite”.
Secara budaya, ia resonan karena kritik tajam dating culture—sekarang dengan Tinder dan Bumble, lirik seperti “pasangan harus punya ciri sama” terasa profetik. Di TikTok, edit absurd dari adegan “hunt” viral, dorong Gen Z sebut ia “Black Mirror meets rom-com”. Pengaruhnya luas: inspirasi serial seperti “The White Lotus” dan buku self-help tentang toxic partnership. Tak heran ia staple di daftar “weird cinema” IMDb dengan 7.1/10, bukti satire Yunani ini tangkap esensi absurditas hidup yang timeless.
Sisi Positif dan Negatif Film Ini
Positif “The Lobster” ada di orisinalitas: sinematografi Thimios Bakatakis tangkap Irlandia hutan yang dingin sebagai metafor emosi terkurung, sementara score Yorgos Gazidellis minimalis tambah ketegangan tanpa berlebihan. Perform Farrell brilian—ia bawa David sebagai everyman yang lucu tapi tragis, sementara dialog kaku Lanthimos jadi senjata satire yang tajam, kritik norma heteronormatif tanpa preach. Tema kesepian dan paksaan sosial ditangani cerdas, bikin penonton renungkan hubungan sendiri—relevan di 2025 dengan naiknya single population. Review Guardian 2015 sebut ia “masterclass in discomfort”, dan ulang tahun ini, artikel New Yorker revisiting puji sebagai “blueprint untuk Lanthimos Oscar run”.
Negatifnya, humor gelap kadang terlalu kering—bagi yang suka romansa ringan, film ini bisa overwhelming, dengan pacing lambat di paruh kedua saat bergeser ke hutan, kurang intens dibanding hotel phase. Beberapa sebut akhir ambigu terlalu nihilistik, tinggalkan rasa kosong daripada katarsis; Common Sense Media beri rating 16+ karena kekerasan kartun dan tema dewasa. Di Reddit anniversary thread, ada yang bilang “too weird for mainstream”, abaikan potensi emosional Weisz. Meski begitu, kekurangan ini justru bikin ia unik—bukan film massal, tapi pengalaman yang tinggalkan jejak.
Kesimpulan
“The Lobster” di anniversary ke-10 tahun 2025 tetap jadi karya masterpiece Lanthimos, dari ringkasan dystopian absurd tentang paksaan cinta hingga popularitas berkat satire tajam dan cast stellar, dengan positif orisinalitas kalahkan negatif pacing kering. Bukan sekadar film aneh, ia cermin masyarakat yang obsesi pasangan sempurna. Saat Farrell dan Weisz kini ikon, “The Lobster” ingatkan: kadang, jadi hewan liar lebih bebas daripada ikut aturan. Kalau belum nonton, ini saatnya—atau rewatch untuk tertawa getir lagi. Siap pilih sisi Anda di hutan romansa?