Review Film Manchester by the Sea. Manchester by the Sea, film drama karya Kenneth Lonergan yang dirilis pada 2016, kembali mencuri perhatian pada 2025 berkat penayangan ulang di festival film independen dan popularitasnya di platform streaming. Dibintangi Casey Affleck, yang memenangkan Oscar sebagai Aktor Terbaik, film ini menawarkan penggambaran mendalam tentang duka, trauma, dan tanggung jawab keluarga. Dengan narasi yang realistis dan emosi yang kuat, film ini tetap relevan sebagai salah satu karya drama terbaik dekade ini. Artikel ini akan mengulas ringkasan film, alasan kesedihannya, serta sisi positif dan negatif yang menjadikannya begitu berkesan. BERITA LAINNYA
Ringkasan Singkat dari Film Ini
Manchester by the Sea mengikuti Lee Chandler (Casey Affleck), seorang petugas kebersihan yang hidup tertutup di Boston. Setelah kakaknya, Joe (Kyle Chandler), meninggal karena penyakit jantung, Lee kembali ke kota kelahirannya, Manchester-by-the-Sea, untuk mengurus pemakaman dan menjadi wali keponakannya, Patrick (Lucas Hedges), seorang remaja berusia 16 tahun. Lee, yang menyimpan trauma masa lalu akibat tragedi keluarga, berjuang menghadapi tanggung jawab baru ini sambil menghadapi kenangan pahit. Melalui kilas balik, penonton melihat bagaimana kehidupan Lee hancur akibat kejadian tragis yang melibatkan mantan istrinya, Randi (Michelle Williams). Film ini mengeksplorasi usaha Lee untuk berdamai dengan masa lalu sambil menjalin hubungan dengan Patrick di tengah duka bersama.
Apa Yang Membuat Film Ini Begitu Sedih
Kesedihan Manchester by the Sea berasal dari penggambaran realistis tentang duka dan trauma yang tak pernah sembuh. Lee Chandler adalah karakter yang penuh luka batin, terperangkap dalam rasa bersalah atas tragedi masa lalu yang terungkap melalui kilas balik yang menghancurkan. Adegan seperti pertemuan tak sengaja Lee dengan Randi, yang penuh emosi namun terkendali, atau interaksinya dengan Patrick yang mencerminkan ketidakmampuannya move on, sangat menyayat hati. Film ini menonjol karena tidak menawarkan penyelesaian bahagia, melainkan menunjukkan bahwa beberapa luka terlalu dalam untuk sembuh sepenuhnya.
Ketegangan emosional diperkuat oleh nada minimalis dan dialog yang terasa nyata, seperti percakapan sehari-hari antara Lee dan Patrick yang penuh humor namun sarat kepedihan. Latar musim dingin di Manchester-by-the-Sea, dengan lanskap kelabu dan dingin, mencerminkan suasana hati karakter. Musik karya Lesley Barber, yang lembut namun melankolis, menambah kedalaman emosi tanpa terasa berlebihan. Film ini membuat penonton merasakan beban duka Lee, menjadikannya pengalaman yang berat namun otentik.
Sisi Positif dan Negatif dari Film Ini
Positifnya, Manchester by the Sea adalah karya drama yang luar biasa dengan akting kelas atas. Casey Affleck memberikan performa yang memukau sebagai Lee, menangkap kerentanan dan keputusasaan dengan ekspresi minim namun kuat. Lucas Hedges dan Michelle Williams juga bersinar, terutama dalam adegan-adegan emosional yang intens. Skrip Kenneth Lonergan, yang juga dinominasikan Oscar, terasa hidup dengan dialog yang alami dan kilas balik yang terintegrasi dengan mulus. Sinematografi Jody Lee Lipes menangkap keindahan suram kota pesisir, sementara pacing film yang lambat namun terarah memungkinkan penonton meresapi emosi karakter. Pesan film tentang penerimaan diri dan hubungan keluarga membuatnya relevan dan universal.
Namun, kelemahannya adalah intensitas emosional yang mungkin terlalu berat bagi sebagian penonton. Durasi 137 menit dengan tempo lambat bisa terasa melelahkan, terutama karena narasi tidak menawarkan harapan atau penyelesaian yang jelas. Beberapa kritik menyebutkan bahwa fokus pada duka Lee kadang mengesampingkan perkembangan karakter lain, seperti Patrick, yang bisa dieksplorasi lebih dalam. Selain itu, tema berat tentang trauma dan kehilangan mungkin tidak cocok untuk mereka yang mencari hiburan ringan, membuat film ini kurang aksesibel bagi audiens yang lebih luas.
Kesimpulan: Review Film Manchester by the Sea
Manchester by the Sea tetap menjadi salah satu film drama paling kuat dan emosional pada 2025, berkat penggambaran realistis tentang duka dan trauma yang disampaikan melalui akting luar biasa dan skrip yang mendalam. Kisah Lee Chandler yang bergulat dengan masa lalu dan tanggung jawab sebagai wali menciptakan narasi yang menyayat hati, diperkuat oleh sinematografi dan musik yang mendukung suasana. Meski menawarkan performa memukau dan pesan universal tentang penerimaan, intensitas emosional dan tempo lambatnya mungkin tidak cocok untuk semua penonton. Film ini adalah pengingat akan kompleksitas emosi manusia dan dampak jangka panjang dari tragedi, menjadikannya wajib ditonton bagi pecinta drama yang siap menghadapi pengalaman emosional yang mendalam.