Review Film Mulan. Di tengah banjir remake live-action Disney yang sering jadi perdebatan panas, Mulan tahun 2020 muncul sebagai upaya berani untuk hidupi legenda Tiongkok kuno tanpa lagu dan tarian ala animasi 1998. Disutradarai oleh Niki Caro dari Selandia Baru, film ini ambil cerita Hua Mulan yang menyamar sebagai pria untuk gantikan ayahnya di pasukan kaisar, tapi dengan sentuhan realistis dan visual epik. Dibintangi Liu Yifei sebagai Mulan, Donnie Yen sebagai komandan, dan Jet Li sebagai Kaisar, rilisnya sempat tertunda pandemi dan akhirnya tayang di Disney+ Premier Access pada September 2020—bukan bioskop seperti rencana awal. Meski kontroversi soal politik dan representasi, film ini tonton 52 juta rumah tangga dalam 10 hari pertama, dan pada September 2025, di mana Disney lanjutkan era live-action dengan Snow White, Mulan kembali dibahas di TikTok berkat challenge “reflection” dan diskusi feminisme Asia. Ini bukan sekadar reboot, tapi jembatan budaya yang ajak kita lihat pahlawan wanita lewat lensa autentik. Artikel ini akan kupas ringkasan plotnya, alasan popularitasnya, serta pro dan kontra yang bikin ia tetap kontroversial tapi memorable. BERITA VOLI
Ringkasan Singkat Mengenai Film Ini: Review Film Mulan
Mulan mengisahkan Hua Mulan (Liu Yifei), putri tua dari keluarga petani Tiongkok abad ke-5 yang tak lincah tapi punya chi—energi spiritual—yang kuat. Saat Kaisar (Jet Li) perintahkan satu pria per keluarga ikut perang lawan penyihir Rouran bernama Xianniang (Gong Li) dan pemimpinnya Böri Khan (Jason Scott Lee), ayah Mulan yang tua dan sakit dipanggil. Demi lindungi keluarga, Mulan potong rambut, ambil baju besi ayah, dan bergabung pasukan sebagai Hua Jun. Di bawah komando Tung (Donnie Yen), ia latih diri jadi prajurit tangguh, sembunyi identitas sambil berteman dengan rekan seperti Chen Honghui (Harry Shum Jr.) yang curiga tapi hormati kemampuannya.
Plot berputar di sekitar perjuangan Mulan: dari pelatihan brutal di gunung hingga baku hantam di salju, di mana ia selamatkan komandan dan ungkap rahasia chi-nya. Twist datang saat Xianniang, penyihir yang dikhianati patriarki, tawari aliansi tapi Mulan tolak demi kesetiaan. Adegan klimaks di Istana Kaisar penuh aksi pedang dan sihir, di mana Mulan hadapi Böri dan Xianniang dalam duel epik. Tanpa lagu seperti “Reflection” asli, film ini ganti dengan narasi visual—dari kabut pegunungan hingga parade kaisar—dan durasi 115 menit, rated PG-13 untuk kekerasan dan tema dewasa. Akhirnya beri Mulan kehormatan sebagai pahlawan, tapi dengan pesan mandiri: kekuatan datang dari dalam, bukan gelar. Secara keseluruhan, ini cerita transformasi dari gadis biasa jadi legenda, dengan nuansa mitologi Tiongkok yang lebih autentik daripada animasi.
Apa yang Menjadikan Film Ini Sangat Populer: Review Film Mulan
Popularitas Mulan lahir dari campuran rasa penasaran dan timing pasca-pandemi, di mana Disney+ Premier Access jadi penyelamat rilis 2020. Dengan biaya 30 dolar tambahan, film ini tonton oleh 52,2 juta rumah tangga dalam 10 hari—rekor untuk platform saat itu—dan capai 66 juta dalam sebulan, dorong langganan naik 9,7 juta. Secara global, ia raih 70 juta dolar box office terbatas di Asia dan Eropa, meski kalah jauh dari ekspektasi 200 juta. Rotten Tomatoes beri 72% kritikus dan 54% audience, tapi buzz datang dari visual: sinematografi Reed Morano tangkap lanskap Tiongkok megah, dari Gurun Gobi ke Tembok Besar, dengan CGI naga Mushu diganti seekor phoenix mistis bernama Hayabusa yang lebih subtle.
Casting Liu Yifei sebagai Mulan yang lincah dan ekspresif—setelah kontroversi dukung polisi Hong Kong—jadi sorotan, sementara aksi Donnie Yen dan Gong Li tambah kredibilitas bela diri autentik. Di 2025, popularitas bertahan lewat streaming gratis di Disney+, di mana ia trending lagi berkat #MulanRemake di TikTok (miliaran views dari user cosplay pelatihan atau diskusi chi sebagai “inner strength”). Referensi di serial seperti Shang-Chi dorong generasi muda Asia nonton ulang, plus merchandise seperti pedang Mulan naik 40% di pasar global. Bahkan, masuk daftar “best warrior films” di IMDb dengan skor 5,3/10 yang stabil. Kombinasi elemen budaya Tiongkok, aksi non-stop, dan model hybrid rilis bikin film ini ikonik—bukan blockbuster terbesar, tapi benchmark live-action yang ambisius.
Apa Sisi Positif dan Negatif dari Film Ini
Mulan punya kekuatan yang bikin ia unggul sebagai cerita pahlawan wanita. Pertama, autentisitas budaya: syuting di Tiongkok dan Xinjiang dengan kostum Hanfu akurat, plus mitologi chi dan feng shui yang hormati akar legenda—beda jauh dari versi animasi yang kartunish. Liu Yifei beri Mulan kedalaman emosional, dari gadis pemalu ke pejuang mandiri, sementara Gong Li sebagai Xianniang tambah lapisan kompleks: penyihir bukan villain datar, tapi korban patriarki yang beri nuansa abu-abu. Aksi kinematik—kejar-kejaran kavaleri di salju atau duel pedang Yen—brilian, mirip wuxia ala Crouching Tiger tapi aksesibel Hollywood, dan skor Hans Zimmer campur instrumen Tiongkok seperti erhu beri atmosfer epik. Secara tematik, film ini dorong feminisme: Mulan bukti kekuatan perempuan lewat skill, bukan romansa, inspirasi gerakan girl power di Asia. Skor visualnya tinggi, dengan CGI mulus dan lanskap breathtaking, bikin penonton merasa imersif. Ia bukti Disney bisa adaptasi mitos global tanpa kolonisasi berlebih, beri harapan bagi remake seperti The Little Mermaid.
Tapi, kekurangannya tak kalah mencolok. Kontroversi politik—syuting di Xinjiang dekat kampis Uighur dan pernyataan Liu Yifei—picu boikot di AS dan Eropa, bikin audience score rendah dan diskusi toksik daripada seni. Tanpa lagu, film ini kehilangan pesona musikal animasi, terasa datar dan kurang emosional—banyak bilang “Reflection” diganti adegan kabut terlalu literal, hilangkan heart dari cerita asli. Plotnya predictable dan kurang karakter pendukung: Mushu absen bikin hilang comic relief, sementara subplot keluarga rushed. Pacing lambat di pelatihan awal, dan elemen sihir Rouran terasa tacked-on, kurangi fokus pada perjuangan Mulan. Kritikus sebut dialog kaku dan kurang humor, sementara representasi LGBTQ+ hilang (seperti di animasi), bikin ia kurang inklusif. Di 2025, dibanding remake sukses seperti Aladdin, film ini terasa half-baked. Meski begitu, positifnya dominan sebagai langkah maju budaya, tapi negatifnya ingatkan Hollywood soal sensitivitas global.
Kesimpulan: Review Film Mulan
Mulan adalah remake Disney yang ambisius dan penuh tantangan, sebuah film yang angkat legenda Tiongkok ke panggung dunia dengan aksi megah dan pesan mandiri. Dari ringkasan transformasi Mulan hingga popularitasnya yang lahir dari streaming pandemi dan visual stunning, ia bukti live-action bisa beri perspektif segar di 2025. Meski kontroversi politik dan hilang lagu bikin ia terbelah, kekuatannya dalam rayakan kekuatan perempuan Asia jauh lebih besar—mengajak kita lihat chi dalam diri sendiri. Dengan legacy di Disney+ dan inspirasi bagi film bela diri, Mulan selamanya jadi pengingat: pahlawan tak butuh lagu untuk bersinar. Nonton ulang, rasakan angin pegunungannya, dan ingat—kadang, cuma perlu satu wanita berani untuk ubah sejarah.