Review Film The Lord of the Rings: The Two Towers

review-film-the-lord-of-the-rings-the-two-towers

Review Film The Lord of the Rings: The Two Towers. The Lord of the Rings: The Two Towers, dirilis pada tahun 2002, adalah bagian kedua dari trilogi epik karya Peter Jackson yang diadaptasi dari novel J.R.R. Tolkien. Film ini melanjutkan petualangan Frodo Baggins (Elijah Wood) dan Samwise Gamgee (Sean Astin) dalam misi menghancurkan One Ring, sementara Aragorn (Viggo Mortensen), Legolas (Orlando Bloom), dan Gimli (John Rhys-Davies) berjuang melawan pasukan Sauron. Dengan durasi 179 menit (atau 235 menit untuk extended edition), film ini menampilkan pertempuran ikonis Helm’s Deep dan memperkenalkan Gollum (Andy Serkis), karakter CGI revolusioner. Meraih 94% di Rotten Tomatoes dan dua Oscar (Best Visual Effects dan Best Sound Editing), The Two Towers tetap jadi favorit penggemar fantasi epik. Di tahun 2025, ketika trilogi ini merayakan lebih dari dua dekade, film ini masih relevan di platform streaming, menginspirasi diskusi tentang keberanian dan pengorbanan di tengah dunia modern yang penuh konflik. BERITA BOLA

Makna Dari Film Ini: Review Film The Lord of the Rings: The Two Towers
The Two Towers menggali tema keberanian, persahabatan, dan pengorbanan dalam menghadapi kegelapan yang tak terelakkan. Cerita yang terpecah menjadi tiga alur—Frodo dan Sam dengan Gollum, Aragorn dan kawan-kawan di Rohan, serta Merry dan Pippin bersama Treebeard—mencerminkan perjuangan individu dan kolektif melawan keputusasaan. Frodo menghadapi beban psikologis cincin yang korup, melambangkan godaan kekuasaan dan kerapuhan manusia. Gollum, dengan dualitas Sméagol dan Gollum, menjadi cerminan konflik batin antara kebaikan dan kejahatan. Sementara itu, pertempuran Helm’s Deep menyoroti pentingnya persatuan di tengah ancaman, dengan karakter seperti Théoden (Bernard Hill) yang bangkit dari keraguan untuk memimpin. Subplot Ents menyinggung isu lingkungan, menunjukkan bagaimana alam bisa melawan perusakan industrialisasi (diwakili oleh Saruman). Secara keseluruhan, film ini menyampaikan pesan bahwa harapan dan solidaritas bisa menang, bahkan saat dunia tampak di ambang kehancuran, sebuah tema yang masih relevan di era krisis global saat ini.

Alasan Film Ini Enak Ditonton
The Two Towers adalah pengalaman sinematik yang memukau karena beberapa alasan. Pertama, skala epiknya tak tertandingi, dengan pertempuran Helm’s Deep yang masih dianggap salah satu adegan perang terbaik dalam sejarah film, penuh ketegangan dan koreografi cemerlang. Sinematografi Andrew Lesnie menangkap keindahan Middle-earth, dari dataran Rohan hingga rawa-rawa Dead Marshes, dengan warna dramatis yang memperkuat suasana. Kedua, performa aktor seperti Viggo Mortensen yang karismatik sebagai Aragorn dan Andy Serkis yang luar biasa sebagai Gollum (dengan motion-capture inovatif) memberikan kedalaman emosional. Skor musik Howard Shore, dengan tema Rohan yang heroik, menambah intensitas dan kepekaan. Ketiga, pacing film yang terbagi tiga alur tetap seimbang, menjaga penonton terpaku meski durasinya panjang. Keempat, dialog yang puitis namun sederhana, seperti monolog Sam tentang “stories that really mattered,” bikin penonton terhubung emosional. Cocok untuk ditonton ulang di layar lebar atau malam santai, film ini menawarkan petualangan yang mendebarkan sekaligus menyentuh.

Sisi Positif dan Negatif Film Ini
Dari sisi positif, The Two Towers adalah pencapaian sinematik yang menggabungkan visual megah, narasi kompleks, dan karakter yang kaya. Penggunaan CGI untuk Gollum adalah terobosan pada masanya, menetapkan standar motion-capture modern, sementara efek praktis di Helm’s Deep tetap terlihat realistis hingga kini. Performa ensemble, dari Ian McKellen sebagai Gandalf hingga Miranda Otto sebagai Éowyn, menghidupkan dunia Tolkien dengan autentik. Film ini juga sukses menyeimbangkan aksi, drama, dan momen introspektif, seperti debat batin Gollum, yang menambah dimensi psikologis. Tema persatuan dan pengorbanan resonan lintas generasi, membuatnya relevan untuk diskusi tentang kepemimpinan dan ketahanan. Selain itu, extended edition menawarkan lebih banyak konteks, seperti backstory Saruman, yang memuaskan penggemar novel.
Namun, ada beberapa kelemahan. Pacing di beberapa bagian, terutama alur Ents yang lambat, bisa terasa menyeret bagi penonton yang mengutamakan aksi. Beberapa perubahan dari novel, seperti penggambaran Faramir yang lebih ambivalen, memicu kritik dari purist Tolkien karena menyimpang dari karakter aslinya. Selain itu, fokus pada tiga alur cerita kadang membuat film terasa terfragmentasi, dengan transisi yang kurang mulus dibandingkan The Fellowship atau The Return of the King. Bagi penonton baru, dunia Middle-earth yang kompleks tanpa pengetahuan sebelumnya bisa membingungkan, terutama dengan minimnya rekap dari film pertama. Meski begitu, kekurangan ini tidak mengurangi dampak keseluruhan, terutama bagi yang sudah terinvestasi dalam trilogi.

Kesimpulan: Review Film The Lord of the Rings: The Two Towers
The Lord of the Rings: The Two Towers tetap menjadi mahakarya sinema yang menggabungkan epik fantasi dengan emosi manusiawi yang mendalam. Dengan pertempuran spektakuler, karakter ikonik seperti Gollum, dan tema keberanian serta persatuan, film ini menawarkan pengalaman yang tak lekang oleh waktu. Meski ada sedikit kelemahan dalam pacing dan adaptasi, kekuatannya dalam visual, akting, dan narasi jauh lebih dominan, menjadikannya wajib tonton bagi penggemar fantasi atau siapa saja yang mencari cerita tentang harapan di tengah kegelapan. Di 2025, saat dunia menghadapi tantangan baru, The Two Towers mengingatkan kita bahwa bahkan dalam pertempuran terberat, ada cerita yang layak diperjuangkan—sempurna untuk marathon trilogi atau refleksi tentang kekuatan solidaritas.

 

BACA SELENGKAPNYA DI…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *