Review Film The Town. Dirilis pada 17 September 2010, The Town karya Ben Affleck tetap jadi salah satu film heist yang paling digemari, bahkan di 2025. Film crime thriller ini kembali mencuri perhatian setelah masuk daftar “Top 50 Crime Films of All Time” versi Rolling Stone edisi Agustus 2025, ditambah lonjakan streaming 25% di Netflix pasca-debut versi 4K remaster. Dibintangi Affleck sebagai Doug MacRay bersama Rebecca Hall, Jon Hamm, dan Jeremy Renner, The Town adaptasi novel Prince of Thieves karya Chuck Hogan dengan apik, raih nominasi Oscar untuk Aktor Pendukung (Renner) dan skor 93% di Rotten Tomatoes dari 200+ ulasan. Di X, diskusi tentang intensitas aksi dan dilema moralnya ramai, terutama di kalangan penggemar yang bandingkan dengan Heat atau The Departed. Dengan rating 7.5/10 di IMDb dari ratusan ribu penonton, film ini bukan cuma soal perampokan bank, tapi cerita tentang lojalitas, cinta, dan upaya kabur dari masa lalu. Di era di mana heist movie sering jatuh ke trope klise, The Town tawarkan narasi yang grounded dan emosional—layak ditonton ulang sekarang. BERITA BASKET
Ringkasan Singkat dari Film Ini: Review Film The Town
The Town berpusat pada Doug MacRay, pemimpin tim perampok bank di Charlestown, Boston—kota yang konon punya rekor perampokan tertinggi di AS. Bersama sahabatnya Jem (Jeremy Renner), yang impulsif dan setia, Doug rencanakan setiap heist dengan presisi, tapi hidupnya berubah saat ia culik lalu lepaskan Claire (Rebecca Hall), manajer bank yang tak sadar jadi saksi. Tanpa sepengetahuan tim, Doug dekati Claire, awalnya untuk pantau, tapi malah jatuh cinta, ciptakan dilema: lanjutkan hidup kriminal atau kabur demi cinta.
Sementara itu, agen FBI Adam Frawley (Jon Hamm) kejar tim Doug tanpa henti, manfaatkan bukti kecil untuk dekati mereka. Plot makin panas saat bos mafia lokal, Fergie, paksa Doug untuk satu perampokan terakhir di Fenway Park—heist terbesar sekaligus paling berisiko. Dengan pacing ketat selama 125 menit, film ini campur aksi tembak-menembak, kejar-kejaran mobil, dan drama personal: Doug harus pilih antara loyalitas ke Jem, cinta ke Claire, atau kebebasan yang mungkin tak pernah ada. Klimaks di Fenway penuh ketegangan, tinggalkan penonton dengan akhir bittersweet yang realistis, bukan happy ending Hollywood.
Mengapa Film Ini Enak Untuk Ditonton
The Town punya daya tarik yang bikin susah lepas mata. Sinematografi Robert Elswit—dengan sudut kamera dinamis ala dokudrama—tangkap Boston yang kasar, dari gang sempit Charlestown sampai stadion Fenway yang megah. Adegan heist, seperti perampokan pembuka dengan topeng biarawati, koreografinya rapi, penuh adrenalin tanpa glorifikasi kekerasan. Skor musik David Buckley dan Harry Gregson-Williams, dengan gitar elektrik dan drum intens, tambah degup jantungan di scene aksi, tapi lembut di momen romansa Doug-Claire.
Akting jadi kunci: Affleck, juga sebagai sutradara, imbangi karisma dingin dan kerentanan, sementara Renner curi perhatian sebagai Jem yang labil namun setia. Pacing lincah; durasi 125 menit terasa singkat karena tiap scene punya tujuan, dari dialog tajam antar geng sampai quiet moment Doug dan Claire di tepi sungai. Dialognya realistis, campur slang Boston dengan humor kering, seperti Jem bilang “We’re gonna hurt some people” dengan santai mengerikan. Versi 4K 2025 bikin visual makin tajam, ideal untuk tonton ulang di Netflix, baik solo atau bareng teman yang suka debat moral. Enak ditonton karena balance: aksi bikin jantungan, drama bikin empati, dan akhir yang bikin renung tanpa memaksa air mata.
Sisi Positif dan Negatif dari Film Ini
Sisi positif The Town terletak pada eksekusi yang nyaris sempurna. Cerita tak cuma soal heist, tapi eksplorasi tema kelas sosial, loyalitas, dan redemption—Charlestown digambarkan sebagai lingkaran setan kemiskinan dan kriminalitas, relevan di 2025 saat isu urban inequality lagi panas di X. Akting Renner, yang raih nominasi Oscar, beri dimensi pada Jem sebagai penutup lubang emosional Doug, sementara chemistry Affleck-Hall bikin romansa believable meski cepat. Teknik sutradara Affleck matang—ia pelajari Heat Michael Mann—ciptakan aksi realistis tanpa CGI berlebih, seperti kejaran mobil yang penuh tabrakan nyata. Box office $154 juta global dari budget $37 juta dan ulasan Variety 2010 yang sebut “gritty yet accessible” bukti daya tariknya. Di 2025, relevansi film naik dengan diskusi tentang keadilan sosial, bikin ia lebih dari sekadar crime flick.
Tapi, ada sisi negatif. Beberapa kritikus bilang romansa Doug-Claire terlalu cepat berkembang, terasa plot convenience ketimbang organic, apalagi dengan trope “good girl saves bad guy” yang kini dianggap dated di era post-#MeToo. Karakter pendukung seperti Fergie atau agen FBI Frawley kurang kedalaman, lebih sebagai alat narasi ketimbang manusia nyata. Untuk penonton yang anti-kekerasan, scene tembak-menembak—meski tak glorifikasi—bisa terasa intens, dengan rating R (Common Sense Media usia 17+) karena darah dan bahasa kasar. Pacing di tengah kadang goyah, terutama saat fokus ke subplot FBI yang kurang greget dibanding heist. Meski begitu, kekurangan ini tak banyak kurangi kekuatan film—ia tetap solid sebagai thriller yang bikin mikir.
Kesimpulan: Review Film The Town
The Town adalah bukti bahwa film heist bisa lebih dari sekadar aksi—ia cerita tentang manusia yang terjebak siklus hidupnya sendiri. Dengan arahan Ben Affleck yang tajam dan performa ensemble yang kuat, film ini tetap relevan di 2025, ingatkan kita bahwa kebebasan sering datang dengan harga mahal. Lonjakan streaming dan pujian baru menegaskan statusnya sebagai klasik modern. Jika kamu suka thriller yang campur adrenalin dan hati, buka Netflix sekarang—tonton Doug MacRay kejar mimpinya, dan mungkin kamu akan tanya: apa yang bikin kamu sendiri bertahan di “town” hidupmu? Siapa tahu, setelah kredit bergulir, kamu akan lihat loyalitas dan masa lalumu dengan cara baru.