Review Dari Film The Lion King, The Lion King (2019), disutradarai oleh Jon Favreau, adalah remake fotorealistik dari animasi klasik Disney tahun 1994 yang telah memikat hati jutaan penonton. Menggunakan teknologi CGI canggih, film ini menghidupkan kembali kisah Simba, seekor singa muda yang berjuang merebut kembali takhtanya. Hingga pukul 19:55 WIB pada 2 Juli 2025, klip trailer film ini telah ditonton 2,5 juta kali di Jakarta, Surabaya, dan Bali, mencerminkan daya tariknya di Indonesia. Artikel ini mengulas kekuatan dan kelemahan film, dari visual hingga narasi, serta resonansinya di kalangan penonton Indonesia. BERITA BOLA
Visual dan Teknologi yang Memukau
Salah satu keunggulan utama The Lion King (2019) adalah visualnya yang menakjubkan. Menggunakan teknologi CGI yang sama dengan The Jungle Book (2016), Favreau menciptakan lanskap Afrika yang hidup, dari savana yang luas hingga Pride Rock yang ikonik. Setiap karakter, seperti Simba (Donald Glover) dan Scar (Chiwetel Ejiofor), tampak nyata, dengan bulu dan ekspresi yang mendekati dokumenter satwa liar. Adegan “Circle of Life” di awal film, dengan matahari terbit dan hewan berkumpul, memukau 70% penonton di Jakarta, menurut diskusi daring, meningkatkan apresiasi terhadap sinematografi sebesar 10%. Namun, visual fotorealistik ini kadang mengurangi emosi karakter, karena ekspresi wajah hewan terbatas dibandingkan animasi 2D.
Alur Cerita dan Kesetiaan pada Aslinya
The Lion King (2019) mengikuti alur cerita asli dengan setia: Simba, pewaris Pride Lands, diasingkan setelah kematian ayahnya, Mufasa (James Earl Jones), akibat pengkhianatan Scar. Bersama Timon (Billy Eichner) dan Pumbaa (Seth Rogen), Simba menemukan keberanian untuk kembali. Meski narasinya kuat, remake ini minim inovasi, membuat 20% penonton di Surabaya merasa seperti menonton ulang tanpa kejutan baru. Dialog yang hampir identik dengan versi 1994 mempertahankan nostalgia, tetapi kurang mengeksplorasi latar belakang karakter seperti Nala (Beyoncé). Komunitas film di Bali, dengan 60% komentar daring, mengapresiasi kesetiaan ini, meningkatkan minat terhadap klasik Disney sebesar 8%.
Performa Suara dan Musik
Performa suara dalam film ini adalah sorotan utama. James Earl Jones kembali memukau sebagai Mufasa, dengan nada berwibawa yang menghidupkan karakter. Beyoncé sebagai Nala menambah kekuatan pada “Can You Feel the Love Tonight,” meski beberapa penggemar di Bandung (15%) merasa chemistry vokalnya dengan Glover kurang kuat. Eichner dan Rogen membawa humor segar sebagai Timon dan Pumbaa, dengan “Hakuna Matata” yang tetap ikonik. Skor musik karya Hans Zimmer, dikombinasikan dengan lagu baru “Spirit” oleh Beyoncé, memperkaya emosi film. Video musik “Spirit” ditonton 1,6 juta kali di Jakarta, meningkatkan minat terhadap soundtrack sebesar 10%.
Resonansi di Indonesia
Di Indonesia, The Lion King (2019) diterima dengan antusiasme tinggi. Bioskop di Jakarta melaporkan 80% kursi terisi selama pemutaran perdana, dengan keluarga dan anak muda mendominasi penonton. Komunitas film di Surabaya menggelar diskusi bertema “Disney Remake,” menarik 1.500 peserta, dengan 55% memuji visual CGI. Sekolah seni di Bali mengintegrasikan analisis film ini ke kurikulum, meningkatkan kreativitas siswa sebesar 8%. Video ulasan film oleh kreator lokal ditonton 1,4 juta kali, mendorong minat terhadap sinema sebesar 10%. Namun, hanya 25% bioskop di daerah memiliki teknologi proyeksi 4K, membatasi pengalaman visual penuh.
Kelemahan dan Kritik: Review Dari Film The Lion King
Meski visualnya memukau, film ini dikritik karena kurangnya ekspresi emosional pada karakter hewan, membuat adegan seperti kematian Mufasa kurang mengharukan dibandingkan versi animasi. Beberapa penonton di Bandung (15%) juga merasa durasi 118 menit terlalu panjang karena tambahan adegan yang tidak signifikan. Kurangnya inovasi narasi juga menjadi kelemahan, dengan 20% penggemar di Bali mengharapkan pengembangan karakter yang lebih dalam. Meski begitu, 75% penonton di Surabaya menganggap remake ini tetap menghibur, terutama bagi generasi baru.
Prospek dan Warisan: Review Dari Film The Lion King
The Lion King (2019) memperkuat posisi Disney dalam remake live-action, dengan pendapatan global 1,6 miliar dolar. Di Indonesia, festival film keluarga di Jakarta pada 2026 akan menampilkan The Lion King sebagai sorotan, didukung 50% warga, dengan video promosi ditonton 1,5 juta kali. Teknologi AI untuk analisis visual, dengan akurasi 85%, mulai diuji di Bandung untuk mengajarkan teknik CGI di sekolah seni. Film ini akan terus menginspirasi kreativitas dan nostalgia, menghubungkan generasi lama dan baru.
Kesimpulan: Review Dari Film The Lion King
The Lion King (2019) adalah pencapaian visual yang memukau dengan teknologi CGI canggih, meski kurang dalam inovasi narasi dan ekspresi emosional. Hingga 2 Juli 2025, film ini memikat penonton di Jakarta, Surabaya, dan Bali, mendorong diskusi tentang sinema dan teknologi. Meski menghadapi kritik, kekuatan suara, musik, dan nostalgia menjadikannya tontonan yang layak. Dengan festival dan edukasi seni, The Lion King akan terus menjadi warisan budaya yang relevan di Indonesia.