Review Film Get Out

review-film-get-out

Review Film Get Out. Pada 13 November 2025, saat film horor baru produksi Monkeypaw seperti “Him” baru saja meraih pujian kritis pada September lalu dengan nuansa satir rasial yang mirip, “Get Out” karya Jordan Peele kembali menjadi pusat diskusi di festival film independen. Dirilis pertama kali pada 2017 dengan budget sederhana 4,5 juta dolar yang meledak jadi 255 juta dolar global, film ini bukan hanya thriller horor, tapi pukulan tajam soal rasisme terselubung di masyarakat kulit putih. Dengan satu Oscar untuk Original Screenplay dan tiga nominasi lainnya, cerita tentang pemuda kulit hitam yang kunjungi keluarga pacar kulit putih dan temukan rahasia mengerikan ini tetap relevan di era pasca-pandemi yang penuh ketegangan sosial. Di musim gugur yang mulai dingin ini, “Get Out” layak ditonton ulang—bukan sekadar film menyeramkan, tapi cermin cerdas yang bikin gelisah tapi berpikir, terutama saat isu keadilan rasial masih bergema di berita harian. INFO CASINO

Plot yang Cerdas dan Mencekam Tanpa Ampun: Review Film Get Out

Alur “Get Out” bergerak seperti jebakan yang pelan-pelan menjerat, dimulai dari perjalanan Chris Washington (Daniel Kaluuya) dan pacar Rose Armitage (Allison Williams) ke rumah pedesaan keluarga Rose untuk bertemu orang tua. Apa yang kelihatan seperti akhir pekan biasa cepat berubah jadi mimpi buruk saat Chris temukan hipnosis aneh, pelayan kulit hitam yang diam seperti robot, dan pesta tetangga yang penuh pujian palsu soal “atletisitas” kulit hitih. Peele susun narasi linier tapi penuh misdirection: dari adegan pembuka yang horor klasik—deer tabrak mobil—hingga klimaks di ruang bawah tanah yang ungkap konspirasi transplantasi otak untuk “sunset” ras.

Kekuatan plot ada di build-up ketegangan yang halus; bukan jump scare berlebih, tapi ketidaknyamanan yang tumbuh dari dialog sehari-hari—like saat ayah Rose bilang “kalau bisa, saya ingin jadi kulit hitam” sambil tunjuk foto Martin Luther King. Twist tengah, saat Chris sadar Rose bagian dari rencana, datang tanpa basa-basi, tapi didukung clue halus seperti foto masa kecilnya. Durasi 104 menit terasa pas, dengan akhir yang katartik tapi tak manis: pelarian Chris via kepala lampu, simbol perlawanan sederhana. Di 2025, alur ini masih segar saat genre horor banjiri layar, ingatkan bahwa ketakutan terbaik lahir dari realitas, bukan monster CGI—bikin penonton geleng kepala sambil tepuk tangan.

Karakter yang Tajam dan Performa yang Menggetarkan: Review Film Get Out

Karakter di “Get Out” adalah senjata utama Peele, digambarkan dengan lapisan yang bikin penonton benci sekaligus kasihan, terutama lewat performa yang bawa nuansa autentik ke setiap tatapan dan kata. Chris adalah pahlawan yang relatable: pemuda hati-hati dengan trauma ayahnya yang tewas ditembak polisi, Kaluuya bawa peran itu dengan ketegangan diam—mata lebarnya saat hipnosis, atau tawa gugup di meja makan, bikin kita rasakan paranoia itu sendiri. Nominasi Oscar Best Actor-nya pantas, karena ia hilangkan stereotip hero kulit hitam dan ganti dengan kerapuhan manusiawi.

Rose jadi villain tersembunyi yang brilian: Williams mainkan gadis polos dengan senyum manis yang pelan-pelan retak jadi manipulatif dingin, twist-nya pukul telak karena chemistry awal mereka terasa nyata. Keluarga Armitage lengkapkan galeri rasisme mikro: ayah Dean (Bradley Whitford) yang “liberal” tapi rasialis tersirat, ibu Missy (Catherine Keener) dengan hipnoterapi yang jadi alat kontrol, dan saudara Jeremy (Caleb Landry Jones) yang kasar tapi jujur. Pendukung seperti Rod (Lil Rel Howery), sahabat Chris yang curiga dari jauh, tambah humor ringan via telepon—momen “kalau nggak telpon 48 jam, aku datangin polisi” jadi jeda napas di tengah horor. Performa ini tak overact; Peele biarkan aktor bernapas, hasilkan dinamika yang seperti keluarga nyata—bikin “Get Out” bukan sekadar film, tapi studi sosial yang hidup.

Tema Rasisme Terselubung dan Gaya Visual yang Cerdik

Tema inti “Get Out” adalah rasisme liberal yang manis di permukaan tapi busuk di dalam, di mana Peele gali bagaimana pujian jadi senjata: “kalau jadi kulit hitam, saya bisa menari” atau “kamu punya bakat atletis” yang bungkus superioritas rasial. Konspirasi “coagula”—transplantasi otak kulit putih ke tubuh kulit hitam—simbolkan apropriasi budaya, kritik tajam soal privilege tanpa ceramah panjang. Film ini ungkap bagaimana ketakutan Chris bukan hantu, tapi senyum palsu yang sembunyikan niat buruk, relevan di 2025 saat gerakan anti-rasisme masih bergulir pasca-protes global. Peele campur horor dengan satire, bikin tema tak berat tapi menusuk—seperti teori “post-racial” Amerika yang runtuh di pesta Armitage.

Gaya visual cerdik jadi pelengkap sempurna: sinematografi Toby Oliver gunakan warna kontras—hijau cerah taman untuk fasad damai, biru dingin ruang bawah untuk rahasia gelap—ciptakan rasa claustrophobia meski di rumah luas. Adegan hipnosis dengan cangkir teh yang berputar lambat jadi ikonik, simbol hilang kendali. Tak ada score musik berlebih; Ludwig Göransson ciptakan suara minimalis dengan hip-hop beat yang tambah urgensi rasial. Produksi low-budget ini dapat Oscar karena keberaniannya: hindari gore berlebih, fokus pada ketidaknyamanan psikologis. Di era film horor formulaik, gaya ini sederhana tapi impactful, bikin “Get Out” abadi sebagai blueprint satir sosial yang tak lekang.

Kesimpulan: Review Film Get Out

“Get Out” tetap jadi tonggak di November 2025 ini, dengan plot mencekam, karakter menggetarkan, dan tema menusuk yang satukan horor jadi kritik rasial yang tak tergantikan. Dari perjalanan Chris ke jebakan Armitage hingga pelarian via kepala lampu, film Peele ini bukan sekadar pemenang Oscar, tapi panggilan bangun yang bikin kita periksa senyum tetangga sendiri. Saat “Him” dan karya Monkeypaw lain lanjutkan warisannya, tontonlah ulang sekarang—rasakan dingin hipnosisnya di tulang. Rating 9.5/10, layak jadi esensial watchlist, terutama saat dunia masih butuh ingat bahwa get out bukan akhir, tapi awal perlawanan.

 

BACA SELENGKAPNYA DI…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *