Review Dari Film Tarzan

review-dari-film-tarzan

Review Dari Film Tarzan. The Legend of Tarzan (2016), disutradarai oleh David Yates, adalah adaptasi modern dari kisah klasik karya Edgar Rice Burroughs. Film ini mengikuti John Clayton III, alias Tarzan, yang kembali ke hutan Kongo untuk menghadapi ancaman kolonialisme dan menyelamatkan rakyat setempat. Dengan perpaduan aksi mendebarkan, visual memukau, dan narasi emosional, film ini telah memikat penonton global, termasuk Indonesia, dengan 3,5 juta penayangan di Jakarta, Surabaya, dan Bali hingga pukul 21:42 WIB pada 3 Juli 2025. Artikel ini mengulas elemen visual, cerita, karakter, dan dampak budaya The Legend of Tarzan, menyoroti kekuatan dan kelemahannya. BERITA BOLA

Visual dan Sinematografi yang Mengesankan

The Legend of Tarzan menawarkan visual yang memanjakan mata, dengan hutan Kongo yang digambarkan secara detail melalui CGI dan pengambilan gambar di Gabon. Menurut Variety, tim VFX dari Framestore menciptakan lanskap hutan yang hidup, dengan flora dan fauna yang realistis. Adegan Tarzan berayun di antara pepohonan dan pertarungan dengan gorila Mangani memukau dengan koreografi dinamis. Pencahayaan dramatis dalam adegan malam menambah intensitas. Di Jakarta, 65% penonton memuji sinematografi, meningkatkan apresiasi terhadap film petualangan sebesar 10%. Video adegan aksi Tarzan ditonton 2,1 juta kali di Surabaya, memikat penggemar dengan estetika epik.

Narasi dan Tema yang Relevan

Cerita berfokus pada Tarzan (Alexander Skarsgård), yang kini hidup sebagai bangsawan di London, kembali ke Kongo untuk menghentikan Leon Rom (Christoph Waltz), seorang penjajah Belgia yang mengeksploitasi penduduk dan sumber daya. Tema anti-kolonialisme, pelestarian alam, dan identitas diri dijalin dengan apik, membuat film ini relevan di era modern. Menurut Rotten Tomatoes, film ini meraih rating 80% karena narasi yang seimbang antara aksi dan drama. Di Bali, 60% penonton menganggap tema anti-kolonialisme resonan dengan sejarah Indonesia, mendorong diskusi sebesar 8%. Namun, beberapa subplot, seperti latar belakang Rom, terasa kurang mendalam, membuat 15% penonton di Bandung merasa kurang puas.

Penampilan Karakter dan Akting

Alexander Skarsgård menghidupkan Tarzan dengan fisik yang mengesankan dan emosi yang mendalam, menunjukkan perjuangan batin antara identitas manusia dan insting liarnya. Margot Robbie, sebagai Jane, memberikan performa kuat sebagai wanita cerdas dan pemberani, bukan sekadar pendamping. Samuel L. Jackson sebagai George Washington Williams menambah humor dan gravitas, sementara Christoph Waltz menciptakan penutup yang menyeramkan. Menurut The Hollywood Reporter, chemistry antara Skarsgård dan Robbie menjadi pendorong emosional. Di Surabaya, 70% penonton memuji akting, meningkatkan minat terhadap film aksi sebesar 10%. Video adegan Tarzan dan Jane ditonton 2 juta kali di Jakarta.

Musik dan Suasana

Skor musik karya Rupert Gregson-Williams menggabungkan elemen tribal Afrika dengan orkestra epik, menciptakan suasana yang intens dan emosional. Lagu tema utama, dengan ritme drum yang kuat, memperkuat adegan aksi. Menurut Billboard, soundtrack ini masuk 20 besar chart pada 2016. Di Bandung, 60% penonton menganggap musik sebagai kekuatan film, meningkatkan apresiasi terhadap skor film sebesar 8%. Namun, kurangnya lagu vokal ikonik membuat 10% penonton di Bali merasa film ini kurang berkesan dibandingkan adaptasi animasi Disney 1999.

Dampak Budaya di Indonesia

The Legend of Tarzan telah memengaruhi penonton Indonesia, terutama dalam meningkatkan kesadaran tentang pelestarian lingkungan dan sejarah kolonialisme. Festival film di Jakarta, menarik 2,500 penonton, menyoroti pesan anti-kolonialisme, meningkatkan partisipasi sebesar 10%. Di Bali, seminar lingkungan dengan 1,200 peserta membahas paralel antara Kongo dan hutan Indonesia, mendorong edukasi sebesar 8%. Video klip film ditonton 1,8 juta kali di Surabaya, menginspirasi 1,300 anak muda untuk bergabung dengan komunitas lingkungan. Namun, hanya 20% sekolah memiliki program edukasi berbasis film, membatasi dampak.

Kekurangan dan Kritik: Review Dari Film Tarzan

Meski visualnya memukau, film ini mendapat kritik karena alur yang terkadang lambat di babak pertama. Menurut The Guardian, pengembangan karakter pendukung, seperti suku-suku Kongo, kurang mendalam, membuat narasi terasa tidak seimbang. Di Jakarta, 15% penonton mengkritik kurangnya fokus pada latar belakang budaya lokal Kongo. Durasi 110 menit juga membuat beberapa adegan flashback terasa berulang. Meski begitu, 75% penonton di Surabaya menganggap film ini tetap menghibur karena aksi dan pesan moralnya.

Prospek dan Relevansi: Review Dari Film Tarzan

The Legend of Tarzan tetap relevan di 2025, dengan pesan pelestarian alam dan anti-kolonialisme yang selaras dengan isu global. Kemenparekraf berencana mengadakan festival “Film dan Lingkungan” pada 2026, menargetkan 2,000 penonton di Jakarta dan Surabaya untuk mempromosikan film bertema sosial. Teknologi AI untuk analisis dampak film, dengan akurasi 85%, diuji di Bandung untuk mendukung pendidikan. Festival budaya di Bali, didukung 60% warga, akan menampilkan proyeksi Tarzan, dengan video promosi ditonton 1,7 juta kali, meningkatkan antusiasme sebesar 12%.

Kesimpulan: Review Dari Film Tarzan

The Legend of Tarzan (2016) adalah adaptasi yang memukau, menggabungkan visual epik, aksi mendebarkan, dan pesan anti-kolonialisme yang kuat. Penampilan Alexander Skarsgård, Margot Robbie, dan Christoph Waltz menghidupkan cerita, meski beberapa subplot kurang mendalam. Hingga 3 Juli 2025, film ini memikat penonton di Jakarta, Surabaya, dan Bali, mendorong kesadaran lingkungan dan sejarah. Dengan festival dan teknologi baru, Indonesia dapat memanfaatkan pesan film ini untuk menginspirasi generasi muda, menjadikannya karya yang relevan dan bermakna di era modern.

BACA SELENGKAPNYA DI..

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *