Review Film Kukira Kau Rumah. “Kukira Kau Rumah” tetap jadi salah satu film Indonesia paling menyayat hati sepanjang dekade ini, meski sudah lima tahun berlalu sejak rilis Oktober 2021. Disutradarai Umay Shahab dalam debut panjangnya, film berdurasi 90 menit ini mengangkat isu bipolar disorder lewat kisah Niskala, seorang musisi indie yang berjuang hidup normal sambil menyembunyikan gejolak di kepalanya. Dibintangi Prilly Latuconsina dan Jourdy Pranata, cerita ini bukan drama biasa tentang cinta dan sakit jiwa, tapi lebih ke potret kejamnya harapan yang terus diberikan kepada orang yang sudah lelah bertahan. Rating penonton masih bertengger di angka 8.2–8.5 di berbagai platform, menjadikannya salah satu film lokal paling diapresiasi sekaligus paling bikin sesak. BERITA BASKET
Perjalanan Niskala yang Terasa Terlalu Nyata: Review Film Kukira Kau Rumah
Niskala hidup dalam dua dunia: satu saat ia penuh energi, menulis lagu, tampil di kafe kecil, dan jatuh cinta pada Pram yang hangat; satu saat lagi ia jatuh ke lubang gelap, tak bisa bangun dari tempat tidur berminggu-minggu. Film ini tak pernah menjelaskan bipolar secara textbook, melainkan membiarkan penonton merasakannya lewat ritme hidup Niskala yang naik-turun tanpa ampun. Adegan-adegan manic-nya penuh warna dan musik ceria, sementara fase depresinya diselimuti keheningan panjang dan close-up wajah yang kosong. Penonton sering bilang keluar bioskop dengan dada sesak, bukan karena jumpscare, tapi karena menyadari betapa mudahnya kita mengatakan “kamu pasti bisa” pada orang yang sebenarnya sudah sangat lelah.
Akting Prilly dan Jourdy yang Mengguncang: Review Film Kukira Kau Rumah
Prilly Latuconsina menang aktris terbaik di banyak ajang berkat peran Niskala. Ia bermain tanpa filter: saat manic, matanya berbinar liar; saat down, tatapannya benar-benar mati. Transisi antar fase dilakukan hanya dengan ekspresi dan bahasa tubuh, jarang pakai dialog panjang. Jourdy Pranata sebagai Pram juga luar biasa; ia memerankan cowok baik-baik yang awalnya penuh sabar, tapi perlahan retak karena tak tahu lagi cara menolong orang yang dicintai. Chemistry mereka terasa rapuh sekaligus kuat, membuat adegan perpisahan di akhir terasa seperti ditonjok pelan tapi dalam. Pemeran pendukung seperti Unique Priscilla dan Kiki Narendra juga memberikan warna tanpa mencuri spotlight, menjaga fokus tetap pada dua tokoh utama.
Penyutradaraan dan Sinematografi yang Lembut Tapi Kejam
Umay Shahab memilih pendekatan minimalis: dialog sedikit, musik banyak die, sinematografi lembut dengan warna pastel saat bahagia dan abu-abu dingin saat gelap. Ia berani membiarkan adegan hening berlangsung lama, bahkan sampai penonton merasa tak nyaman—tepat seperti yang dirasakan penderita. Penggunaan lagu-lagu original yang ditulis Niskala dalam cerita (seperti “Biar Menjadi Kenangan” dan “Rumah”) jadi senjata ampuh; liriknya seolah curhatan langsung yang tak pernah diucapkan keras-keras. Ending film ini terkenal bikin orang menangis di bioskop tanpa suara, hanya isak pelan, karena terasa sangat personal bagi siapa saja yang pernah jadi “rumah” bagi orang lain, atau justru merasa tak pernah punya rumah sama sekali.
Kesimpulan
“Kukira Kau Rumah” bukan film yang menyenangkan untuk ditonton, tapi ia penting dan jujur. Ia tak memberi solusi mudah, tak menawarkan harapan palsu, hanya menunjukkan bahwa mencintai seseorang dengan gangguan jiwa sering berarti belajar melepaskan sambil tetap sayang. Lima tahun berlalu, film ini masih sering direkomendasikan di grup-grup kesehatan mental, diputar ulang saat seseorang butuh merasa “dilihat”. Bagi yang belum pernah menonton, siapkan tisu dan hati yang kuat. Dan kalau sudah pernah, mungkin saatnya ditonton lagi—karena ternyata luka yang sama bisa terasa berbeda di lain waktu. Film ini bukti bahwa cerita kecil tentang dua orang bisa mengguncang jutaan hati tanpa perlu teriak-teriak.