Review Film Indonesia Terlaris: Gundik . Di tengah maraknya film horor Indonesia yang semakin berani eksplorasi mitos lokal, Gundik (2025) muncul sebagai salah satu yang paling laris sepanjang tahun ini. Disutradarai Anggy Umbara, film berdurasi 110 menit ini tayang perdana pada 22 Mei 2025 dan langsung pecahkan rekor box office, menarik lebih dari 2 juta penonton dalam dua bulan pertama—menjadikannya salah satu rilis terbesar di bioskop nasional. Dibintangi Luna Maya sebagai sosok Nyai misterius, Maxime Bouttier sebagai pemimpin perampok, serta Agus Kuncoro dan Ratu Sofya sebagai kru kejahatan, Gundik campur aduk genre horor, thriller heist, dan komedi ringan. Ceritanya tentang empat preman yang nekat rampok rumah simpanan pejabat era kolonial, tapi berujung hadapi teror mistis Pantai Selatan. Dengan visual era Belanda yang apik dan jumpscare yang bikin jantungan, film ini tak hanya hibur, tapi juga angkat isu tabu seperti keserakahan dan kutukan warisan budaya. Apakah layak jadi tontonan wajib, atau cuma sensasi sementara? Mari kita kupas lebih dalam. BERITA BASKET
Sinopsis yang Bikin Deg-degan dan Ngakak: Review Film Indonesia Terlaris: Gundik
Cerita Gundik dibuka dengan nuansa gelap era kolonial, di mana empat preman—dipimpin Otto (Maxime Bouttier), mantan tentara yang haus kaya—rencanakan perampokan sempurna. Targetnya rumah mewah Nyai (Luna Maya), perempuan kaya yang konon simpanan pejabat tinggi dan punya tumpukan emas di balik pintu rahasia. Mereka yakin ini jalan pintas ke kekayaan, tapi begitu masuk rumah, suasana berubah mencekam. Nyai tak lagi sekadar wanita biasa; ia jelmaan roh Pantai Selatan yang haus balas dendam, lengkap dengan ritual mistis dan penjagaan supranatural yang bikin bulu kuduk berdiri.
Anggy Umbara pintar bangun ketegangan dari prolog, di mana kilas balik Nyai sebagai gundik pejabat ungkap sisi tragis di balik kemewahannya—dikhianati dan dikutuk, kini balas dendam pada siapa saja yang serakah. Paruh pertama fokus pada persiapan heist yang lucu, dengan dialog preman-preman ala komedi situasional yang bikin penonton terkekeh, seperti Otto yang sok jago tapi sering blunder. Tapi saat memasuki rumah, genre bergeser ke horor murni: bayangan bergerak, suara bisikan, dan jumpscare tiba-tiba yang tak kasih ampun. Twist di third act bikin cerita makin liar, campur aksi lari-larian dengan elemen mistis yang rooted di legenda Jawa. Secara keseluruhan, sinopsis ini segar karena tak cuma andalkan hantu generik, tapi gali psikologi serakah yang bikin penonton mikir: “Kalau gue, pasti kabur duluan.”
Kekuatan Akting dan Produksi yang Memikat: Review Film Indonesia Terlaris: Gundik
Luna Maya jadi bintang utama di sini, transformasinya dari wanita anggun era kolonial jadi roh pembalas dendam terasa totalitas—tatapannya dingin bikin merinding, apalagi saat adegan berlumuran darah dengan efek praktis yang realistis. Ia bukan cuma hantu cantik; karakternya punya lapisan emosional, ungkap luka masa lalu yang bikin penonton simpati sekaligus takut. Maxime Bouttier, yang biasa di romansa, kali ini solid sebagai Otto—campur macho tapi rapuh, chemistry-nya dengan kru seperti Agus Kuncoro (sebagai preman cuek) dan Ratu Sofya (peran pendukung misterius) tambah dinamika grup yang kocak.
Produksi Umbara Brothers tak main-main: set rumah kolonial dibangun detail, dari furnitur antik hingga pencahayaan remang yang ciptakan atmosfer tegang. Sound design-nya jempolan, dengan suara angin Pantai Selatan yang bergema dan musik latar etnik Jawa yang nge-blend horor barat. Komedi garing ala Indonesia—seperti preman debat konyol saat sembunyi—jadi penyeimbang, bikin film tak terlalu berat. Visualnya pun Instagramable, terutama scene ritual Nyai yang penuh simbolisme budaya, tanpa terasa murahan. Bagi penggemar horor lokal, ini upgrade dari film-film sebelumnya, dengan budget yang kelihatan efektif tanpa boros efek CGI berlebih.
Kelemahan dan Respons Penonton yang Campur Aduk
Meski laris, Gundik tak luput cela. Penulisan karakter preman terasa kurang dalam—mereka lebih jadi alat plot daripada punya arc yang kuat, bikin third act agak kacau saat twist mistisnya terlalu cepat diselesaikan. Latar belakang Nyai juga menyisakan tanda tanya; asal-usul kutukannya tak tergali maksimal, meski potensinya besar untuk eksplorasi lebih dalam. Beberapa adegan komedi terasa garing, seperti kritik dari penonton yang bilang “terlalu banyak lelucon slapstick yang maksa,” dan pacing paruh kedua kadang lambat sebelum ledakan akhir.
Respons penonton campur: di platform review, skor rata-rata 3.2/5 dari ribuan ulasan, dengan pujian buat jumpscare dan Luna Maya, tapi keluhan soal ending yang “kurang puas” dan horor yang lebih ke komedi daripada murni seram. Box office-nya memang gila—melebihi 2 juta tiket terjual per akhir Juni 2025—terutama karena promosi viral di media sosial dan premiere yang ramai. Penggemar bilang ini “horor Indonesia paling fun tahun ini,” sementara kritikus sebut “visually appealing tapi kehilangan arah di akhir.” Bagi keluarga, rating 17+ cocok karena ada gore ringan dan tema dewasa, tapi tak terlalu ekstrem.
Kesimpulan
Gundik membuktikan bahwa horor Indonesia bisa laris bukan cuma karena takut, tapi juga tawa dan cerita rooted budaya. Dengan Luna Maya yang memukau dan blend genre heist-mistis yang segar, film ini jadi tontonan ideal untuk malam minggu yang bikin deg-degan sekaligus ngakak. Meski ada celah di pengembangan karakter dan pacing, keberhasilannya di box office—sebagai film terlaris 2025 sejauh ini—tak bisa disangkal, angkat lagi martabat sinema lokal. Skor 3.5/5: wajib nonton di bioskop untuk rasain atmosfernya, atau streaming nanti kalau suka horor ringan. Di era di mana film lokal bersaing ketat, Gundik ingatkan kita: teror terbaik datang dari cerita kita sendiri.